Senja dan Kehilangan
Senja telah melihat banyak kehilangan dalam
hidupnya. Mulai dari hal sepele seperti kehilangan karet penghapus dari dalam
tempat pensilnya, hingga ia melihat kehilangan yang membuat isi kepalanya
hilang, mengawang.
Hidup mengajarkan dirinya bahwa satu hal yang
pasti adalah perubahan dan kematian, sedangkan yang abu-abu hanyalah
ekspetasi-ekspetasi lintas imaji. Senja masih mencoba untuk tetap waras, di
antara cepatnya jarum panjang juga sibuknya para langkah kaki yang lalu-lalang
tiap harinya.
Kehilangan banyak mengajarkan. Dari kedua
matanya yang coklat tertempa sinar mentari, Senja menyaksikan bagaimana
seseorang kehilangan belahan jiwanya. Seakan air mata tak mampu membayar
kekosongan batin, dan melunasi janji-janji ragawi. Dari kedua matanya yang
coklat, Senja menyaksikan bagaimana seseorang kehilangan kepercayaannya
terhadap penglihatannya sendiri. Seakan, sejuta kata maaf tak mampu menebus
dinding yang terlanjur beku.
Senja tak sibuk menghakimi, hanya sibuk
mempelajari bagaimana ia sudah mencapai fase hidup yang layaknya lapisan kulit
bawang ini. Apa dan bagaimana ia tiba pada permasalahan yang tercipta di depan
mata adalah ujian, atau hukuman.
Masih jelas, wangi hujan sore hari masih
sebagai hadiah terindah, main kucuran air dan yang terdengar adalah omelan renyah sang Bunda. Namun sekarang,
Senja lebih banyak merindu.
Kehilangan lantas memberikan gambaran bahwa
satu hal yang nyata adalah kita tak
pernah benar-benar memiliki, semua hanya titipan dan dengan lancangnya kita
memberikan hak paten kepemilikan. Hingga tiba saatnya keikhlasan untuk melepas
semuanya.
Senja melihat bagaimana sebuah jiwa lepas dari
raganya, tak hanya pada inang tubuh, namun separuh jiwa itu juga ikut lepas
dari raga orang lain. Memang benar, belahan jiwa tentu ada. Bagi ia teman
setia, keluarga, ataupun tetangga.
Bagaimana hari bisa menjadi gelap, dan langit
kelabu…seakan seluruh semesta ikut menangis hari itu.
Komentar
Posting Komentar