Postingan

Menampilkan postingan dari Mei, 2016

Zeus dan Hera

Suatu Hari Zeus bertanya kepada Hera, Mengapa tetap setia walau dirinya selalu mendua. Hera tak menjawab, ia hanya membalas pertanyaan Zeus dengan senyuman penuh makna. Banyak yang tak bisa ia ucapkan begitu saja. Menjaga perasaan katanya, walau sebenarnya Hera lah yang lebih pantas mendapatkannya, bukan Zeus. Olympus dibenakku mungkin berbeda. Memangnya Aku siapa? Setengah Dewa? Jika Dewa bisa memilih keahliannya, Aku mau menjadi Dewa Kata-kata. Demikian. Hari itu sehabis hujan, Zeus mungkin berduka, atau sedang berpesta ria dengan selirnya? yang jelas hujan di bumi selalu menimbulkan tanda tanya tanpa solusi, bukan jawaban proses evaporasi. Terlalu ilmiah, kadang bikin otakku yang tak seberapa ini menjadi gerah. Kalau saja benar bahwa kehidupan itu paralel, Aku akan memilih kembaranku untuk mati saja. Kasihan, pasti menderita kalau dibiarkan berjiwa. Zeus tak kejam, tak juga lemah. Petir, adalah wujud kegelisahannya, atau bahkan suka citanya. Pindah galaksi sepertinya menari

Koma

Menutup mata, yang... Mendengar suara, tak... Mencium aroma, Akan... Ilalang pagi, Jingga Sore, Malam, Pekat Waktu Mencekat... Tak salah, hanya.. Bukan Bercanda, cuma... Merasakan Hidup.. Mati rasa.. Tertawa, tak bahagia. Memandang, pikiran mengawang.. Berat, tak tampak.. Mulai redup.. Senyum, Baiklah Maaf, Tak mungkin Lupakan, Apalah... Terimakasih, Lupakan.. Atas memiliki kuasa, Bawah kehabisan oksigen menderita.. Atas seenaknya, Bawah merasakan proses semuanya.. Langit, Jalanan.. Tak Bertuan.. Miskin rindu.. Lelah tak berujung. Meraung, tak bersuara. Terisak, tak nampak Kesal, Tanda koma yang tak bertemu titik.

Apa Kabar Senja?

Senja bukannya tak ingin lagi bertegur sapa. Ia hanya bingung memulai darimana. Sepertinya waktu terlampau sedikit untuknya. Malam yang tanggung dengan Subuh yang dengan kejam membuat matanya tak mampu terpejam nyaman Mungkin kerutan sudah mulai meranggas, tinggal tunggu muncul di permukaan. Senja merasa rotasi bumi semakin membuatnya gila. Menua, kehilangan orang tercinta, Baginya kini, Peraduan hanyalah kasur dan bantal saja. Senja menyadari apa yang dulu bahagia kini berubah menjadi fana. Seakan berlembar-lembar sajak cengengnya hanyalah fatamorgana dibagian lain dalam memorinya. Tak bisa lagi Senja menikmati detik dengan kalimat yang menggelitik, Ia takut mimpinya terbenam. Matanya lelah, panas. dengan telapak kaki yang selalu meminta untuk beradu dengan lembutnya sellimut. Badannya tak selincah dulu. Kini Senja banyak murung, dengan kalkulasi materi di kepalanya. Tak ada lagi aksara yang membuatnya mudah jatuh cinta dan ilang logika. Kini Senja seperti pena kehabisan tinta.